MUJIZAT 1053
I. 10:53
Minggu 25 September 2011 jam 10:45. Ibadah baru saja usai. Doa
berkat telah selesai disampaikan. Jemaat sedang berjalan keluar dari
dalam gedung Gereja. Pemuji dan pemusik sedang menaikkan puji-pujian.
Baru saja, Pdt. Sigit Purbandoro dari Surabaya menyampaikan Firman
Tuhan mengenai “Pertolongan Tuhan” yang terambil dari Mazmur 121:1-8.
Semuanya kelihatannya berjalan dengan lancar sepereti biasanya.
Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Puji-pujian langsung berhenti.
Saya berpikir speaker sound system yang meledak. Saya langsung berlari
ke tengah mimbar dan dari atas mimbar terlihat ada asap putih mengepul
dari pintu depan. Asap cukup tebal sehingga pandangan ke luar pintu
tidak terlihat. Saya langsung berpikir “Wah bom!” Langsung saya berlari
seperti melompat dari mimbar ke tempat kejadian.
Pikiran saya cuma satu, “Tuhan jangan sampai ada korban jiwa dari
jemaat” dan kalau ada korban luka, itu yang harus secepatnya ditolong.
Tidak kepikiran kalau ada bom susulan atau hal lain. Hanya satu perkara
yang ada di pikiran “Selamatkan secepatnya yang terluka!”
Pada waktu itu, jemaat berteriak-teriak panik dan berlarian. Apalagi
asap putih cukup tebal menghalangi pandangan. Bau mesiu menyengat dan
darah berceceran di lantai.
Sampai di dekat kejadian, saya melihat hanya ada seorang yang
tergeletak dengan perut hancur. Saya langsung berpikir, “Itu pasti
pelakunya”. Secara sekilas saya tidak menemukan korban lain yang
tergeletak, spontan saya langsung berkata dalam hati, “Syukur Tuhan,
tidak ada korban jiwa jemaat”.
Lalu saya lihat beberapa jemaat yang terluka. Saya pegang tangan
salah satunya dan saya katakan “Kamu pasti tertolong. Jangan takut!
Tuhan melindungimu.” Tapi saya tidak boleh hanya berkutat di situ.
Sekarang, ada beban di pundak saya sebagai gembala untuk mengendalikan
situasi yang kacau dan menenangkan jemaat yang panik. Langsung saya
berteriak “Semuanya keluar lewat pintu samping”. Sekarang, prioritas
utama adalah melarikan korban yang terluka secepat-cepatnya ke rumah
sakit. Tidak usah memanggil ambulan, karena pasti butuh waktu cukup
lama. Sedangkan korban, harus secepatnya dibawa ke rumah sakit.
Terdengar teriakan dari Pdm. Joko Sembodo yang mengatur keamanan di
tempat kejadian perkara. Dia berteriak kepada petugas parkir di luar
“Tutup pintu gerbang cepat!” agar jangan sampai ada orang luar masuk.
“Bawa semua korban lewat kantor. Pakai mobil Gereja untuk membawa
korban ke rumah sakit” teriak saya. Langsung beberapa jemaat dengan
sigap tanpa rasa takut menggendong para korban ke kantor. Mereka ini
betul-betul orang-orang yang siap melayani seperti Kristus. Tidak
mempedulikan resiko bom ke dua ataupun kengerian yang muncul, mereka
sigap untuk memberikan pertolongan kepada korban-korban yang
berjatuhan.
Sayapun segera berlari ke kantor. Di kantor, saya menyuruh Bapak
Yohanes dan Bapak Yulianto untuk mengatur parkir agar kendaraan di
parkir yang tidak berkepentingan bisa langsung cepat keluar. Begitu
kosong, ada dua kendaraan yang siap dipakai, milik Bapak Budi dan Bapak
Gideon. Langsung para korban diangkat dinaikkan ke mobil Bapak Budi.
Namun ada kesulitan untuk menaikkan korban ke mobil Bapak Gideon,
karena pintunya terhalang mobil lain. Tidak menunggu waktu, saya
langsung naik ke belakang setir dan memajukan mobil Bapak Gideon,
sehingga pintu bisa terbuka lebar.
Begitu korban dimasukkan, mobil segera melaju dengan cepat ke Rumah
Sakit Dr. Oen. Ada yang sempat bertanya, “Nanti kalau di tanya siapa
yang menanggung dan bertanggungjawab, bagaimana jawabnya?” Saya
langsung berteriak “Gereja yang akan bertanggungjawab untuk semua
biayanya. Yang penting, korban harus segera ditolong!” (Biaya
pengobatan dan rumah sakit ditanggung oleh pemerintah dan oleh pihak
Rumah Sakit Dr. Oen). Dalam waktu kira-kira lima belas menit sejak
ledakan, semua korban sudah bisa sampai ke Rumah Sakit Dr. Oen.
Setelah sebentar membagi tugas di kantor, saya dan Pdm. Wim Agus
Winarno langsung menyusul ke Rumah Sakit Dr. Oen. Urusan peledakan dan
korban tewas biarlah urusan polisi dan orang lain yang sudah saya
serahi tugas untuk itu. Sedangkan tugas saya adalah gembala. Saya harus
berada di dekat domba-domba yang terluka secepatnya.
Di luar, masa yang begitu banyak sudah memadati jalan di sekitar
Gereja, sehingga kendaraan saya sukar untuk bergerak. Sesampainya di
rumah sakit, ruang UGD sudah penuh dengan korban-korban yang terluka
dan keluarganya. Suasana hiruk pikuk. Langsung saya usahakan untuk
mendekati mereka satu per satu. Saya berikan kata-kata kekuatan dan
yang paling penting saya doakan mereka satu per satu. Itulah tugas saya
sebagai gembala.
Korban pertama yang saya jumpai adalah Bapak Sugiyono dan anaknya
Defiana. Secara sepintas mereka kelihatannya tidak terluka parah,
karena mereka masih bisa tersenyum. Namun kemudian saya baru tahu bahwa
luka Defiana cukup parah, di mana ada 3 mur yang bersarang di
tempurung kepalanya. Saya doakan mereka dan saya kuatkan.
Lalu saya jumpai Bapak Go Sing Gwan yang terluka dibahunya. Sebuah
metal besi telah menghantam tulang bahunya sehingga hancur. Bapak Go
Sing Gwan harus menjalani operasi untuk mengganti tulang bahunya yang
hancur dengan sebuah plat.
Dikamar sebelah saya menjumpai Olivia Putri yang terluka di kakinya.
Urat kakinya putus dan dia menangis. Pasti rasanya sangat menyakitkan
sekali dan hati saya turut tersayat melihat gadis remaja ini menangis
kesakitan. Saya pegang tangannya dan saya doakan.
Berlari keluar saya masuk ke kamar di samping dan di situ saya
melihat Noviyanti tergeletak di atas ranjang dengan kepala yang
bercucuran darah begitu banyak. Terlihat sepintas lukanya cukup parah
dan dia hanya diam saja tanpa respon. Hati saya kuatir melihatnya. Tapi
saya meneguhkan iman dan berdoa. Saya bisikkan kata-kata kekuatan dan
saya doakan dia. Luar biasanya, nanti terlihat bahwa pemulihannya
begitu cepat dan dia termasuk yang cepat pulang dari Rumah Sakit.
Septiana saya jumpai sedang terbaring kesakitan. Benda tajam telah
menembus salah satu kakinya sampai berlubang dan mencucurkan darah.
Tidak berhenti sampai di situ, benda tajam itu masih melaju dan
bersarang di kaki yang satunya lagi. Ke dua kakinya terluka parah.
Selanjutnya saya berlari ke kamar sebelah dan saya melihat Ibu
Feriana yang terluka parah, ada pecahan metal yang menembus dan merobek
kandung kemihnya. Pendarahan terjadi dan harus segera dihentikan
sebelum menjadi fatal. Segera dia diprioritaskan untuk menerima
tindakan operasi lebih dahulu untuk menghentikan pendarahan. Dalam
operasi itu, dokter juga harus memotong usus halusnya sebanyak dua cm.
ketika didoakan sebelum masuk ke kamar operasi, dia masih bisa tersenyum
sekalipun terluka parah.
Selesai mendoakan Ibu Feriana, saya keluar kamar dan di lorong saya
menjumpai Ferdianta dan Boris yang terbaring di ranjang. Luka mereka
berada di tangan, perut dan kaki, karena ada paku dan benda-benda lain
yang menancap. Saya doakan dan saya teguhkan iman mereka. Mereka
mengangguk lemah tanda percaya dan saya senang karena mereka tetap
kuat.
Saat itu, saya melihat ada korban yang sedang didorong tergesa-gesa
oleh petugas medis ke kamar operasi. Ternyata dia adalah Bapak
Ristiyono yang punggungnya hancur karena ada dua belas paku yang
menancap di punggungnya. Saya tidak sempat mendoakannya secara khusus,
tapi saya berdoa dalam hati agar kemanapun dia dibawa, Tuhan
menyertainya.
Dengan setengah berlari, saya masuki kamar selanjutnya. Di situ
terbaring Ibu Yulianti yang sudah berusia tujuh puluh empat tahun. Dia
merasakan sakit di kepalanya yang berdarah-darah dan berkata dengan
suara memelas “Pak, kepalaku sakit sekali. Tolong Pak Yo, ndak kuat
rasanya. Kepala ini sakit sekali!” Saya tidak bisa melakukan apa-apa
untuk meringankan penderitaannya, kecuali hanya dengan doa. Telinga Ibu
Yulianti telah robek terhantam serpihan benda tajam dan mengucurkan
banyak darah. Saya pegang tangannya dan dia menggenggam tangan saya
erat-erat. Saya katakan, “Tante jangan kuatir. Tante pasti bisa sembuh
total. Tetap kuat dan panggil nama Tuhan Yesus ya Tante.” Dia
mengangguk dan saya doakan dia sambil kita ber dua berpegangan tangan.
Keluar dari kamar itu, saya melihat korban lain, yaitu Bapak
Stefanus yang terbaring di ranjangnya tepat di tengah ruang UGD. Dia
berusaha bangun. Saya tenangkan dia dan saya suruh tidur kembali. Saya
lihat lengannya atas berdarah-darah. Saya pegang tangannya dan saya
doakan dia di tengah-tengah ruangan UGD itu.
Sekalipun jatuh korban tiga puluh orang terluka, saya masih bisa
bersyukur bahwa tidak ada satupun yang meninggal dunia. Dari tiga puluh
orang itu, empat belas harus dirawat inap dan semuanya harus menjalani
operasi. Operasi berlangsung marathon dari hari Minggu jam 14.00
sampai besoknya jam 12.00, selama dua puluh dua jam.
II. MELEDAK.
Jika direnungkan, dalam tragedi 1053 ini ada banyak mujizat dan
pertolongan Tuhan. Jika tidak ada satupun korban jiwa, itu adalah
karena campur tangan Tuhan semata-mata. Bukan kebetulan! Karena di
dalam Tuhan Yesus, tidak ada yang kebetulan. Semua terjadi atas
ijinNya.
Sebelum kejadian, berdasarkan rekaman kamera CCTV, pelaku
diperkirakan masuk dari pintu kecil samping pintu utama. Dengan berbaju
putih lengan panjang, celana panjang hitam, bertopi, berkacamata dan
sebuah tas kecil di kalungkan di dadanya, pelaku sempat berjalan ke
tengah dan mendekati tengah ruangan Gereja. Andaikata dia meledakkan
bomnya di tengah ruangan Gereja, pasti ceritanya akan berbeda. Korban
yang jatuh pasti akan lebih banyak.
Tapi entah mengapa (Pasti ada campur tangan Tuhan), pelaku sempat
menoleh ke kanan ke kiri seperti kebingungan. Kemudian, dia berbalik
dan berjalan menuju pintu keluar. Dia melangkah keluar pintu Gereja dan
berdiri di depan pintu agak menyamping ke timur. Di teras Gereja
itulah dia meledakkan bom yang dia bawa tepat pukul 10:53 (sesuai
dengan waktu yang terekam di CCTV), menghamburkan proyektil-proyektil
maut berupa paku, mur, lempengan logam tajam dan lain sebagainya.
Semata-mata pertolongan Tuhan kalau pelaku itu meledakkan bomnya
dengan menghadap ke halaman parkir. Andaikata dia meledakkan bomnya
dengan menghadap ke arah pintu Gereja, di mana jemaat sedang ramainya
keluar melalui pintu itu, maka korban yang berjatuhan akan makin banyak
dan bisa jadi ada yang kehilangan nyawanya.
Lebih ajaib lagi, ketika dia menyalakan bomnya, posisinya agak
berubah, badannya memutar sedikit sehingga arahnya tepat menghadap ke
dua pilar beton. Akibatnya, ketika bom yang menempel di perutnya
meledak menghamburkan serpihan-serpihan, maka sebagian tertahan oleh
dua tiang beton itu. Kalau bukan tangan Tuhan yang memutar tubuhnya
sedikit, maka pasti akan jatuh korban lebih banyak lagi.
Serpihan bom itu ternyata menyebar kemana-mana dan ada sebuah
pecahan pipa yang tajam dan sebesar kepalan tangan, telah terlontar
menembus plafon teras Gereja. Andaikata pecahan itu tidak dilemparkan
oleh Tuhan ke atas dan membabat orang, maka dipastikan orang itu tidak
akan mengalami kesakitan. Tapi dia akan langsung tewas di tempat. Tapi
puji syukur kepada Tuhan. Tuhan sudah melemparkan pecahan yang sangat
berbahaya itu ke atas plafon Gereja, sehingga tidak menimbulkan korban.
III. MUJIZAT.
Satu hal yang saya kuatirkan dan saya doakan kepada Tuhan, “Jangan
sampai ada satupun korban yang meninggal!” Kalau tidak ada yang
kehilangan nyawa (kecuali pelaku), maka itu membuktikan bahwa tindakan
bom bunuh diri itu adalah tindakan yang sia-sia dan tidak mencapai
sasarannya, yaitu untuk mencabut nyawa korban sebanyak-banyaknya.
Selamatnya para korban juga menunjukkan bahwa perlindungan Allah itu
dahsyat dan ajaib! Perlindungan Allah tidak tertembus oleh bom yang
bagaimanapun juga.
Oleh sebab itu, ketika diadakan doa di depan Gereja oleh
saudara-saudara kita dari GP Ansor pada Minggu malam, sayapun ikut di
situ. Pada saat itu, saya menerima tiga kabar yang membuat sesak nafas.
Berita pertama yang muncul di sms adalah Defiana setelah operasi
kepala untuk mengambil tiga mur, ternyata mengalami kejang-kejang dan
kritis. Saat saudara-saudara kita dari GP Ansor berdoa, sayapun juga
berdoa, “Tuhan Yesus jangan sampai anakMu ini meninggal. Sembuhkan dan
pulihkan dia oleh karena bilurMu, bukan karena yang lain. Aku mohon
mujizatMu Tuhan.”
Belum selesai saya berdoa, masuk sms ke dua dan disusul yang ke tiga
yang mengatakan bahwa kaki dari salah satu korban yang bernama
Hariyoko harus diamputasi karena terbabat obeng yang terlontar seperti
roket. Lalu urat kaki Olivia Putri yang putus harus segera disambung
sebelum dua puluh empat jam. Tapi sampai saat itu belum bisa segera
dilakukan operasi karena ruang operasi penuh. Padahal waktu sudah
semakin sempit.
Kembali saya berdoa agar jangan sampai ada satupun yang mengalami
cacat! Apalagi mereka ini masih remaja dan masih memiliki perjalanan
hidup yang panjang. Jangan sampai mereka kehilangan masa depannya
karena mengalami kecacatan.
Berdoa bersama saudara-saudara kita dari GP Ansor dan mengingat
korban-korban ini, tak terasa air mata ini menetes. Hanya satu doa yang
saya panjatkan terus, “Jangan ada yang meninggal dan jangan ada yang
cacat”, supaya nama Tuhan saja yang dipermuliakan dalam peristiwa ini.
Begitu selesai doa bersama, kira-kira jam 22.30, saya langsung
bergegas ke Rumah Sakit bersama Pdm. Joko Sembodo untuk menjenguk
korban.
Di depan ruang operasi, saya menjumpai Ibu Hung Me, yang suaminya,
Bapak Go Sing Gwan sedang menjalani operasi karena tulang bahunya
hancur. Di depan kamar operasi itu, kita berdoa bersama-sama memohon
anugerahNya.
Lalu saya menuju kamar Olivia Putri yang harus dioperasi sesegera
mungkin karena urat kakinya putus. Dia tertidur lelap, mungkin karena
pengaruh obat bius untuk mengurangi rasa sakitnya. Saya katakan kepada
ibunya, “Jangan kuatir bu. Pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat.
Kaki Olivia pasti akan dioperasi tepat pada waktunya.” Akhirnya jam
01.00, Olivia bisa dioperasi kakinya dan tidak terlambat.
Di ruang ICU, ada dua korban, yaitu Ibu Feriana yang terluka parah.
Kandung kemihnya yang pendarahan karena tertembus logam dan ususnya
harus dipotong dua cm. Ketika saya doakan, Ibu Feriana justru berkata
“Saya tetap kuat Pak Yo. Saya tetap cinta Tuhan dan Tuhan Yesus pasti
sembuhkan saya.” Dia juga berpesan, “Pak Yo juga harus kuat. Tuhan akan
pakai Pak Yo.” Saya terkejut dengan ketabahan Ibu Feriana. Saya
betul-betul dikuatkan dan terharu. Di saat menderita dan menjadi
korban, Ibu Feriana betul-betul tabah dan justru masih bisa memberikan
kekuatan. Luar biasa!
Memang Tuhan punya rencana lain untuk Ibu Feriana. Ketika para
dokter mengoperasi untuk menghentikan pendarahannya, dokter juga
menemukan usus buntunya sudah infeksi. Karena itu, usus buntunyapun
ikut diambil. Jadi Ibu Feriana ini juga mendapatkan pelayanan operasi
usus buntu, tanpa biaya. Tuhan yang atur semuanya.
Defianapun juga berada di ruang ICU. Saya melihat sekarang dia telah
bisa tidur tenang, sesudah sore tadi mengalami kejang-kejang. Saya
bersyukur kepada Tuhan karena melihat Tuhan sudah melakukan mujizatNya.
Mamanya mengatakan bahwa Defiana ini dalam penderitaannya justru
sangat tabah. Dalam keadaan tergeletak dan terluka parah, dia justru
yang mengkuatkan orang tuanya untuk tetap kuat dan bersyukur kepada
Tuhan, “Ma jangan takut. Aku pasti sembuh karena Tuhan Yesus pasti
menolong.” Bahkan saat dia didorong masuk ke kamar operasi, dia
menyanyikan pujian “Dalam nama Yesus! Dalam nama Yesus! Ada
kemenangan!” Iman anak remaja ini betul-betul luar biasa. Dia sangat
mencintai Tuhan. Saat sadar, yang dipikirkan pertama kali justru,
bagaimana pelayanannya hari Senin, 3 Oktober nanti dalam acara Konser
Pemuda? Luar biasa! Pada hari Senin, 3 Oktober, Defiana sudah bisa ikut
acara konser pemuda di Gereja, sekalipun dengan kepala yang masih
dibalut dengan perban. Mujizat!
Melihat kondisi Defiana yang cukup parah, sebuah lembaga sosial
keagamaan dari Surabaya menawarkan bantuan dana dan pertolongan untuk
membawa Defiana ke Singapore jika diperlukan. Tapi rencana Tuhan
berbeda. Hari Senin, 3 Oktober, Defiana tidak berada di Singapore untuk
diobati. Tapi pada Hari Senin, 3 Oktober, dia berada di GBIS Kepunton
sedang memuji Tuhan. Haleluya!
Hariyoko yang menurut dokter harus diamputasi kakinya mengalami
mujizat yang luar biasa. Besoknya, dokter berkata bahwa kakinya tidak
jadi diamputasi dan bisa sembuh sempurna. Saya yakin dan percaya, bahwa
malam itu, Tuhan Yesus sudah menyambung semua pembulu darah dan
urat-urat yang terputus, sehingga kakinya bisa diselamatkan. Hariyoko
yang masih muda tidak kehilangan kakinya.
Ayahnya, yaitu Bpk Ristiono adalah bapak yang punggungnya hancur
tertebus dua belas paku tajam. Tapi puji Tuhan, tidak ada satupun paku
itu yang menembus organ vitalnya. Sebelas paku diambil melalui operasi
pertama. Tapi satu paku diambil pada operasi ke dua yang beresiko
tinggi. Paku itu bersarang tepat di antara paru-paru dan hatinya. Jika
paku itu tertancap sedikit bergeser saja, maka akan mengenai paru-paru
atau hatinya dan hasilnya pasti fatal. Tapi karena tangan Tuhan saja,
maka paku itu bisa tepat bersarang di antara dua organ vital itu.
Ibu Yuliati yang berusia tujuh puluh empat tahun telah terluka di
kepalanya. Ada serpihan benda tajam yang melesat cepat merobek daun
telinganya. Telinganya berdarah-darah. Tapi kita bisa bersyukur kepada
Tuhan, karena seandainya benda itu selisih beberapa mili saja jaraknya,
maka pecahan benda tajam itu akan menembus ke kepalanya dan berakibat
fatal. Tangan Tuhan betul-betul menyatakan perlindunganNya.
Para korban bersaksi bahwa sepertinya ada tameng Ilahi yang
melindungi mereka. Pecahan paku, mur boleh menembus daging, tapi tidak
mengenai tulang atau organ penting. Ada tangan Tuhan yang tak terlihat
yang telah menahan semua proyektil-proyektil maut itu.
IV. IMAN DI ATAS BATU KARANG.
Hal yang paling membahagiakan saya adalah semua korban yang dirawat
ini memiliki iman yang kuat. Mereka menderita, tapi mereka tidak kecewa
kepada Tuhan. Mereka disakiti, tapi mereka tidak dendam dan mau
mengampuni. Ketika mereka ditanya, mereka tetap mencintai Tuhan Yesus
dan akan tetap setia ke Gereja.
Seperti juga Defiana yang saat masih tergolek justru memikirkan
pelayanannya, maka Olivia Putri juga berkata “Aku akan tetap ke Gereja.
Kenapa harus takut?”
Bapak Stefanus dalam keadaan masih terbaring di tempat tidur bahkan
sudah menanyakan, “Pak, Hari Sabtu ada kebaktian 464 (lansia)? Saya mau
datang ibadah.”
Ibu Yulianti yang sudah berusia tujuh puluh empat tahun, awalnya
mengalami trauma dan berkata “Tidak berani ke Gereja dulu”. Tapi
besoknya dia sudah bisa berkata “Sesudah sembuh, saya pasti ke Gereja
lagi. Saya tidak trauma lagi, karena Tuhan Yesus.”
Boris waktu ditanya wartawan tentang Firman Tuhan saat ibadah, dia
menjawab dengan jawaban luar biasa, “Firman Tuhan tadi berbicara
tentang pertolongan Tuhan dan sekarang saya langsung mengalami
pertolongan Tuhan”.
Para korban tidak menolak jiwa diwawancarai oleh wartawan maupun
dikunjungi oleh tamu-tamu penting. Salah satunya saya tanya, “Kenapa
kok mau diwawancarai atau dijenguk oleh tamu-tamu yang begitu banyak?
Apa tidak justru melelahkan?” Dia menjawab “Pak Yo, justru ini
kesempatan buat saya untuk menyaksikan kehebatan Tuhan Yesus. Justru
inilah kesempatan buat saya untuk menunjukkan kepada orang yang belum
kenal Tuhan bahwa saya tidak takut untuk mengiring Tuhan Yesus dan
menunjukkan bahwa saya mengampuni mereka.”
Kuatnya iman mereka, betapa cintanya mereka kepada Tuhan Yesus,
tabahnya hati mereka, semuanya itu membuat saya semakin kuat. Bukan
saya yang mengkuatkan mereka. Tapi merekalah yang justru telah
mengkuatkan saya.
Jika mereka yang menjadi korban saja bisa begitu kuat dan tidak
takut untuk kembali beribadah. Tentunya, kita yang tidak tergores
sedikitpun pasti akan tetap kuat dan setia beribadah kepada Tuhan Yesus
di tempat yang sudah Tuhan tempatkan kita.
Jangan sampai kesetiaan dan iman kita kalah dengan mereka yang
menjadi korban. Biarlah mereka ini menjadi teladan iman buat kita.
Inilah iman yang dibangun di atas fondasi batu karang.
V. WE LOVE, WE FORGIVE.
Setelah saya kembali dari Rumah Sakit, polisi sudah berdatangan
mengamankan lokasi. Saya masuk ke dalam Gereja dan duduk di kursi tidak
jauh dari pelaku pembomanan yang tergeletak di lantai. Saya amati dia
cukup lama dan saya mulai merenung, “Haruskah hidupnya berakhir tragis
dan sia-sia seperti ini?” Pada waktu itu, yang muncul di dalam benak
saya bukan kebencian dan dendam. Perasaan yang muncul adalah belas
kasihan kepada dia yang telah salah memilih jalan kehidupan.
Dari situlah inti pesan gembala itu muncul “Taburkanlah kasih dan
pengampunan. Bukan dendam dan kebencian.” We love and we forgive.
Tidak ada persungutan yang kita berikan. Tapi ucapan syukur kepada
Tuhan yang kita persembahkan. Habis gelap, terbitlah terang. Setelah
musibah, timbulah mujizat. Karena itu, sekalipun di mata manusia, hal
ini merupakan tragedi dan bencana. Tapi dengan mata iman, saya
memandang bahwa tragedi 1053 pasti menjadi MUJIZAT 1053.
Allah turut bekerja dalam segala perkara untuk mendatangkan
kebaikkan bagi orang-orang yang mengasihi Dia. Tidak ada kemuliaan,
tanpa melalui salib. Justru melalui peristiwa ini, dunia telah melihat
bahwa Tuhan Yesus dahsyat dan ajaib.
Pdt. Jonatan Jap Setiawan